Agar Konflik Tak Berakhir Kelabu
Konflik di dalam keluarga dan rumah tangga adalah hal lumrah. Yang terpenting bagaimana menyikapinya sehingga bisa happy ending.
Sebut saja Eva (30), suatu hari pernah bertengkar hebat dengan suaminya hanya karena semangkuk bakso. Sejak pagi buta, ia sudah berpesan agar dibelikan bakso kegemarannya. Karena sesuatu hal, sang suami lupa membelikan.
Tahu jika suaminya pulang tanpa makanan yang telah ditunggu-tunggu itu, sontak Eva diam membisu. Wajahnya cemberut. Tetapi rupanya, bermula dari omelan-omelan kecil, masalah yang sesungguhnya sepele itu justru makin meruncing tatkala kedua belah pihak saling mengeluarkan kata-kata pedas dan saling menyerang. Puncaknya, Eva kemudian minggat ( melarikan diri) ke rumah orangtuanya dan esoknya meminta perceraian.
Jika dilihat sepintas, masalahnya sangat sepele. Tapi jangan dikira masalah yang sepele seperti itu tak akan berakhir dengan tragis. Dalam banyak kasus, pertengkaran yang hebat dan memicu ke jenjang perceraian justru karena masalah-masalah kecil. Begitulah jika mendahulukan ego, tanpa meminta klarifikasi yang jelas.
Banyak pasangan menganggap bahwa kalau sudah menikah, segalanya harus sama. Contoh kecil, Rizal punya kebiasaan kalau tidur tidak suka menyalakan lampu, padahal sang isteri Zainab justru kebalikannya. Jika tidur dia paling tidak suka gelap.
“Mas memang payah. Maklum orang kampong, biasa tidak ada listrik,”tutur Zainab, “Kalau Mas tidak mau menuruti, saya tidur di kamar lain saja.”
Si Rizal sedikit tersinggung dan spontan terucap dari mulutnya “Ya terserah, aku tidak ambil pusing.”
Akhirnya jadi runyam.
Mestinya disadari dan direnungi, apakah untuk bisa bahagia itu harus sama segalanya? Bukankah justru karena berbeda itulah harus dicari pemecahannya dan bagaimana menyikapinya?
Membina rumah tangga menuju keluarga yang sakinah mawaddah warahmah, adalah dambaan setiap orang. Tapi membangun sebuah keluarga yang skinah perlu suatu proses. Para ahli psikologi mengatakan bahwa tumbuh kembangnya cinta itu mengalami pasang surut. Siklus alamiah selalu terjadi dalam relasi hubungan suami-isteri. Siklus cinta pada umumnya membutuhkan waktu tiga tahun, mulai dari romantis, renggang, tegang,sampai terbangun kembali hubungan yang romantis dan langgeng.
Keluarga sakinah bukan berarti keluarga yang diam, selalu adem ayem tanpa masalah. Dalam keluarga sakinah sekalipun, bisa muncul konflik, hanya saja keluarga jenis ini punya kelebihan berupa kemampuan kreativitas dan keterampilan dalam mengelola konflik yang terjadi dalam keluarganya. Sehingga konflik bisa menjadi indah, bahkan bisa menjadi “bumbu penyedap” bagi pasangan suami-isteri untuk memperbarui cinta dan kasih saying mereka satu sama lain.
Manajemen Konflik
Secara garis besar, ada tiga macam manajemen konflik dalam rumah tangga, yaitu meminimalkan terjadinya konflik, mengelola konflik yang sudah terlanjur terjadi, dan membangun kembali kasih sayang yang sudah pudar akibat konflik yang terjadi.
Dalam kehidupan apapun, namanya konflik hampir tidak bisa dielakkan oleh setiap manusia, apapun bentuknya. Jangankan kita sebagai manusia biasa, kehidupan keluarga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah terjadi konflik. Aisyah Radhiyallahu ‘anha pernah membanting mangkuk yang berisi makanan yang dikirim Shafiyah Radhiyallahu ‘anha, hanya karena dibakar oleh perasaan cemburu. Namun Aisyah menyadari bahwa perbuatannya itu keliru lalu meminta maaf.
Ternyata konflik itu sangat universal, tidak pandang bulu, bisaterjadi pada siapa saja dan semua lapisan, golongan, dan bangsa. Yang membedakan hanyalah kualitas dan kuantitas konflik itu sendiri. Terpenting lagi, adalah bagaimana menyikapi dan mengelolanya secara baik dan islami.
Pertengkaran, sebagaimana juga kemesraan, adalah bagian dari warna emosi. Pertengkaran terjadi karena lepasnya control emosi seseorang, terjadi tanpa diduga, mendadak, tahu-tahu sudah saling bersuara keras. Agar tidak berakhir dengan dendam, kekerasan dan perpisahan, maka ada beberapa hal yang perlu dicermati dan dipahami, antara lain:
Pertama, berusaha menahan diri. Jika salah seorang marah, lebih baik diam dulu. Kalau sudah tenang baru membicarakan persoalan yang sedang dihadapi.
Kedua, mau dikritik dan terbuka. Masing-masing pihak mempunyai kebebasan dalam menyatakan pendapatnya, dan berlapang dada jika dikritik manakala bersalah. Seorang laki-laki meskipun statusnya sebagai pemimpin keluarga, tidak boleh semena-mena. Seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah, beliau senantiasa tak berkeberatan menerima kritik ari isteri-isterinya.
Ketiga, utamakan musyawarah. Tidak ada persoalan yang tidak dapat diselesaikan.
Keempat, saling menghormati hak dan kewajiban masing-masing.
Alangkah bahagia dan harmonisnya suatu bahtera rumahtangga jika tidak diwarnai dengan adanya konflik dan pertengkaran. Tetapi, andai ada konflik dan pertengkaran, insya Allah masih bisa dikelola dengan baik agar tidak semakin menjadi pertikaian yang semakin parah dan berkepanjangan.
Apabila amarah datang, cepatlah beristighfar, sebab dimana ada amarah di situlah selalu ada campur tangan setan. Jika perlu, ambillah air wudhu dan segeralah shalat sunnah.
Jika rasa amarah sudah di ubun-ubun, ingatlah wajah anak-anak kita yang manis-manis. Sebab, tidak ada yang paling menderita akibat dari pertengkaran orangtua, selain anak.
Selesaikan pertikaian dengan cara shalat berjamaah. Jika ada pertengkaran di pagi hari, biasakan agar selesai saat kita menyelesaikan shalat berjamaah Zhuhur. Atau jika terjadi pertengkaran sore hari, masalah akan reda setelah shalat jamaah Maghrib. Insya Allah segala konflik yang ada dapat diselesaikan dengan arif setelah kita shalat dan memohon maaf atas kesalahan dan kekhilafan masing-masing.
Kedua belah pihak harus segera bermuhasabah (mengevaluasi diri) dan mau dikritik oleh pasangannya. Jangan-jangan justru dirinya yang salah dan terburu-buru emosi. Saling menyamakan persepsi sejak awal itu sungguh baik sekali. Misalnya saling mengutarakan apa kesukaan dan kebiasaan masing-masing, sehingga jauh-jauh hari sudah ada kata sepakat dan dicari jalan tengahnya.
Yang tidak kalah penting adalah milikilah sikap saling menghormati hak dan kewajiban serta kedudukan masing-masing. Jika sedang marah, seorang suami seharusnya ingat pesan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
”Orang muslim yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik diantara mereka akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik dengan isterinya.” (Muttafaqun ‘alaihi).
Sebaliknya, seorang isteri juga harus ingat pesan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika hatinya diliputi perasaan marah dan benci. Sabda beliau,
”Seorang wanita, apabila ia telah menunaikan kewajiban shalatnya, ibadah shaum(puasa Ramadhan)nya, dan mentaati suaminya, maka ia berhak untuk masuk surga dari pintu manapun yang ia kehendaki.”
Jika dua belah pihak saling memegang pesan itu, insya Allah, pertikaian tak akan berlanjut pada pertengkaran yang lebih parah. (Masfufah/Hidayatullah)
Sumber: Suara Hidayatullah, Edisi 09/XVIIJanuari 2005 Dzulqa’dah1425, hal.64-65
Tidak ada komentar:
Posting Komentar